Sebuah penelitian menyebutkan, 10 persen dari total pengangguran di Indonesia adalah para sarjana atau mereka yang sudah mengenyam pendidikan tinggi (D-1, D-2 dan D-3). Kalau jumlah pengangguran terbuka per Juli 2006 sekitar 10,5 juta orang, maka pengangguran bertitel sarjana sekitar 1 juta orang. Angka itu tergolong tinggi, karena angkatan kerja dari seluruh lapisan pendidikan pertahun sekitar 3 juta orang. Sebagian survey lain lagi hasilnya. Menurut mereka, kebanyakan lulusan perguruan tinggi tidak siap bekerja. Perusahaan harus memberikan pelatihan dan pengajaran lagi, sehingga menimbulkan cost baru. Ini menyebabkan banyak perusahaan yang berpikir instant dengan cara membajak pegawai dari perusahaan lain. Sedangkan para tenaga kerja baru, para fresh graduate, semakin sempit saja kesempatannya untuk memulai bekerja. Mereka tidak punya daya saing tinggi, karena belum punya skill memadai. Kondisi itu bukan hanya menimpa para lulusan sarjana, melainkan juga mereka yang belajar keahlian di jenjang D-3. Tentu saja situasi itu sangat memprihatinkan. Yang disalahkan biasanya perguruan tinggi tempat mereka belajar, yang dianggap tidak mampu menghasilkan lulusan bermutu. Namun pihak lainnya menyalahkan sistem pendidikan secara keseluruhan, yang tidak pernah memberikan kesiapan fisik dan mental kepada mahasiwa untuk langsung bekerja. Kita tidak perlu saling menyalahkan, karena semua pihak punya peran masing-masing. Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengubah kondisi itu menjadi lebih baik. Bagaimana caranya? Banyak hal bisa dilakukan, namun yang terpenting adalah menanyakan kembali, apa sih hasil yang diharapkan seseorang setelah sekolah? Pasti bekerja, berkarya dan mampu menghasilkan uang dengan cara yang baik. Kalau tujuannya sudah jelas seperti itu, maka diperlukan input dan proses yang benar untuk mencapainya! Sudahkah Anda mendapatkan input dan proses yang benar?
Saturday, January 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment