“Bermain petak umpet di lapang sepak bola
Membidik gajah dalam jarak satu meter
Menggambar wajah sendiri di cermin
Saling tatap lewat lubang sedotan
Menyaksikan siput balap dengan jarak ratusan mil
Mendayung sampan dengan lidi
Memandang bulan di gelombang air
Dan sebagainya seperti, berlomba mengantongi kentut”
Larut dalam sepotong pizza rasa bawang pedas yang tak habis
Takut sedang bermimpi, bergadang sambil menerka-nerka
Bersama kopi yang selalu kau berikan
Entah hatiku yang buta atau matamu yang rabun?
Atau mungkinkah ini sisa dari efek vodka semalam?
Aku berdiri di tengah-tengah gradasi
Terlena dalam simponi disetiap getar dawainya
Sayang, aku tidak bisa mendengar kalimat ditiap bait lagunya
Ada yang tidak beres dengan pendengaranku
Atau mungkin aku yang tidak mau mendengar?
Tapi kata orang-orang aku memang tuli
Aku mabuk duluan oleh wangi aromanya
Padahal kita baru bersulang lalu saling membelakangi
Gelas itu belum kita tegak
Dimalam itu di belakang layar aku pegang tanganmu
Dengan tangan yang masih berlumuran cat
Sisa-sisa waktu kita melukis pelangi didinding sisa gempa
Saat itu juga aku dapat merasakan aliran darah yang mengalir di jari-jarimu
Ada sebuah nama ikut bergerak di dalamnya
Aku seakan terlempar ke masa lalu
Setelah aku tahu itu bukan namaku
(Hik!... ) Maafkan aku atas kelancanganku yang telah meloncati dinding itu
Bukannya aku tidak tahu, tapi memang aku sudah mabuk duluan (Hik!...)
Disini, dimenara aku meneropongmu Sambil mencoba menghafal bait yang kau nyanyikan
Dan masih ada dua pizza dan menu seafood yang belum kita habiskan
Yogyakarta, 1 September 2006
No comments:
Post a Comment