Tuesday, June 07, 2011

KUJANG: Senjata Khas Urang Sunda

“…Ganjaran nu belapati, satria santosa iman, Raden teu burung dileler, jimat kujang nu utama, pikeun neruskeun lampah, pangjurung ngapung ka manggung, pamuka lawang ka Sunan. Cangkingan lalaki langit, wangkingan lalanang jagat, wewesen leber wawanen, saratna sapira kujang nanging jadi lantaran, Sunan Ambu mikayungyun, para jawara ngaraksa. Kujang the dipake ciri, pusaka Tanah Pasundan, ciciren gede wewesen, pantang lumpat ngandar jangjang, ngeok eleh ku bikang, saur galur nu cacatur, kujang dua pangadekna…”

Kujang adalah sebuah senjata yang unik dari segi bentuk dan kesejarahannya. Hampir setiap orang mengenal nama Kujang, namun belum tentu bisa menjawab secara mendalam, baik itu dari sisi bentuk maupun refleksi keberadaannnya dalam kehidupan para penggunanya di masa lalu. Dari berbagai sumber, al. Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other Weapon of Indonesia, penulis mencoba mengungkap fungsi, bentuk serta stratifikasi pemakaiannya dalam masyarakat dimasa lalu.

Tulisan yang dibuat oleh Sdr. Iip Zulkifli Yahya dan telah diterbitkan di Majalah Panggung Edisi Desember 2000 ini sengaja ditampilkan secara berurutan beberapa episode di SundaNet.com yang intinya diharapkan bisa mengungkap berbagai hal tentang kujang, yang tidak hanya semata-mata, dimasa kini, muncul sebagai cinderamata, namun juga mengungkap nilai filosofi dalam bertindak, seiring dengan kandungan dua pangadegna, yang merefleksikan adanya dua sisi ketajaman kritis dalam kehidupan, baik itu dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan kolektifnya (Redaksi).

Kujang, secara umum telah diakui sebagai milik asli urang Sunda. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cinderamata. Lebih dari itu kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Jawa Barat. Apa sebenarnya yang istimewa dalam kujang? Mengapa ia dikesani sakral dan memiliki daya magis? Mengapa ia yang dipilih sebagai lambang Jabar dan bukan benda yang lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebab informasi mengenai kujang sangatlah sedikit, untuk tidak menyebutnya belum ada.

Dalam literatur mengenai Jawa Barat, bahkan dalam buku-buku yang diprakarsai penerbitannya oleh Pemda Jabar, kujang banyak dikupas. Istilah kujang yang sedemikian populer itu, agaknya belum cukup layak untuk masuk sebagai salah satu entry dalam ensiklopedi nasional Indonesia. Kenyataan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sekalipun sangat terlambat, penelitian tentang kujang tetap perlu dilakukan. Karena kujang tidak saja “terlanjur” dijadikan lambang Pemda Jabar dan diakui senjata khas urang Sunda, tetapi melalui kujang inilah salah satu alur penelusuran kebesaran kerajaan Pajajaran diharapkan bisa kita tapaki. Melalui tulisan ini, penulis coba ketengahkan beberapa data dan analisa mengenai kujang. Penelitian ini memang baru sebuah awal dari upaya mapay raratan kujang yang diharapkan bisa melengkapi hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya dan menjadi acuan untuk penelusuran lebih lanjut.

Meneliti benda yang sangat dikenal namun minim literatur, sungguh sangat menantang. Hampir semua urang Sunda mengenal kujang. Namun ironisnya, tidak banyak dari mereka yang bisa menerangkan hal ihwal senjata khas itu. Dengan tetelepek, mencakup wilayah Bandung, Sukabumi, Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut, sedikit informasi mengenai kujang bisa diperoleh. Dari enam daerah tersebut diperoleh data lisan dan data tertulis. Dari data lisan yang diperoleh melalui wawancara, secara umum informasi mengenai kujang masih berupa dugaan-dugaan. Hal ini masih menguatkan kritik atas urang Sunda yang malas mencatatkan segala sesuatu mengenai sejarah karuhun dan daerahnya sendiri. Sehingga banyak informasi penting tentang Sunda yang tercecer, dan saat dibutuhkan justru harus membuka literature berbahasa asing.

Sementara data tertulis terpenting diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti lapangan ahli Kanekes yang tinggal di Sukabumi, ia telah menyusun sebuah makalah (1996) berjudul “Kujang Menurut Berita Pantun Bogor” yang disiapkannya untuk sebuah gatrasawala mengenai kujang yang saat ini batal dilaksanakan. Sedikit keterangan yang menarik diperoleh pula dari buku Wacana Nonoman terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data ini diperoleh dari buku “Keris and Orther Weapons of Indonesia” karangan Mubirman, “Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat)”, dan “Pengabdian DPRD DT. I Jabar”, yang ketiganya ditemukan diperpustakaan Pemda Jabar. Sementara “brosur” dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat menjadi pelengkap, sebab perajin tosan aji ini adalah salah seorang yang secara sadar berniat melestarikan kujang sebagai cinderamata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi muktahir. (SundaNet.com)

No comments: