Tuesday, June 07, 2011

batik sunda

Batik Tulis Tradisional Sunda ”Garutan”

BATIK tradisional Garut atau lebih dikenal dengan sebutan batik “Garutan” mulai surut sehingga perlu dipertahankan keberadaannya. Pertimbangannya bukan sekadar dari sisi bisnis tetapi kerajinan tersebut merupakan aset kerajinan tradisional Sunda yang kian langka akibat terdesak oleh ekonomi kapitalis. Di samping itu adanya keterbatasan pengrajin itu sendiri karena pada umumnya kaum wanita lebih tertarik menjadi buruh pabrik di kota-kota besar. Menurut catatan di kota Garut dari tiga industri sejenis kini hanya tinggal satu yang tetap berproduksi yaitu usaha yang dijalankan oleh Ibu Hajjah Uba Husaodah. Perusahaan tersebut berdiri sejak tahun 1979 dan kini memiliki tenaga perajin sebanyak 45 orang. Sebagian dari jumlah di atas, yakni sekitar 15 orang bekerja langsung di workshop, sedangkan sisanya tersebar di beberapa tempat seperti di Ciledug, Tarogong dan Bentar sebagai pegawai borongan.

Seperti pada umumnya usaha pembatikan lain di Jawa, para pengrajin di Garut pun umumnya kaum wanita. Pekerjaan membatik selain membutuhkan ketelitian tinggi juga mesti didasari cita rasa seni yang memadai. Tanpa memiliki kedua aspek di atas rasanya agak mustahil menjadi perajin batik tulis. Dengan berbagai pertimbangan tersebut maka pilihan tenaga kerja wanita merupakan sebuah pilihan yang tepat. Namun ada juga satu orang tenaga pria yang berprofesi sebagai pembatik di workshop Ibu Uba tersebut. Beberapa pekerja wanita memilih mengerjakannya di rumah masing-masing sehingga mereka masih bisa melaksanakan pekerjaan rutin rumah tangganya. Mereka disebut pekerja borongan dan setelah rampung pekerjaan tersebut disetorkan kepada pemilik perusahaan. Seorang perajin batik tulis “rumahan” rata-rata mampu menyelesaikan 1 potong kain ukuran 110 x 260 cm. Sedangkan untuk pengerjaan batik cap dalam 1 minggu dapat dihasilkan 3 kodi atau 60 helai. Mereka hanya mendapat upah kerja, mengenai kebutuhan bahan seperti kain, malam dan canting seluruhnya disediakan pihak pengusaha. Cara pengupahan dilakukan dengan sistem borongan sesuai dengan tingkat kesulitan motif maupun jenis bahannya. Bahan dari ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dinilai pengerjaannya lebih sulit dibanding bahan lainnya. Dengan sendirinya upahnya pun lebih mahal. Sedangkan upah batik cap lebih murah namun jumlah pesanannya lebih banyak .Biasanya bahan tersebut untuk keperluan seragam.

Proses produksi

batik tulis

Pekerjaan batik tulis cukup rumit sehingga mesti teliti dan sabar karena prosesnya menuntut demikian. Semakin banyak warna makin sering buka tutup malam. Proses penutupan malam tersebut mesti dilakukan pada kedua bidangnya atau bolak-balik.

Setiap tahapan proses selalu dikontrol dengan teliti oleh seorang asisten, terutama pada saat proses ngabiron.

Tahap pertama proses pembatikan dimulai dengan ngarengreng yakni proses menggambar pada sebuah kain. Kain itu sendiri sudah diberi pola atau batas dan diukur. Mereka menyebutnya sudah “dijidaran”. Jadi perajin tinggal melukisnya dengan malam menggunakan alat canting mengikuti pola kasar tersebut. Tampaknya untuk melukis motif atau ragam hias pengisi bidang-bidang kosong atau garis-garis tidak perlu lagi diberi pola, mereka otomatis sudah hafal betul. Fungsi ngajidaran adalah untuk menempatkan motif secara garis besarnya saja. Setelah proses pertama selesai selanjutnya proses nerusan atau neruskeun

Selanjutnya diteruskan dengan ngabiron yaitu menutupi kedua bidang permukaan kain dengan malam agar tidak ada bidang yang masih terbuka atau salah tutup. Proses di atas dilakukan sebelum pencelupan warna. Proses ngabiron sehelai batik berlangsung sekitar 1 minggu. Kain yang sudah dibiron tersebut kemudian ditimbang beratnya untuk mengetahui bahan malam yang sudah digunakan. Rata-rata bahan “malam” (semacam cairan lilin) yang diperlukan ngabiron sehelai kain kurang lebih 1 sampai 1 1/4 kg.. Setelah ngabiron kemudian dilanjutkan dengan proses pewarnaan dengan cara mencelupkan pada warna tertentu. Bidang kain yang terbuka atau tidak tertutup oleh malam tersebut yang akan diberi warna. Dalam proses batik warna tertentu dihasilkan dari- misalnya untuk warna hijau pencelupan warna biru dan kuning. Demikian pula untuk warna coklat, soga, gading dan beberapa warna lainnya terbuat dari warna campuran yang memerlukan dua tiga kali proses pencelupan.

Setelah proses pewarnaan dilanjutkan dengan upaya menghilangkan malam tersebut dari kain. Untuk mengelupas malam dari kain disebut proses ngarorod dengan cara direbus di sebuah tungku. Proses membuka dan menutup malam tersebut berulangkali dilakukan sesuai dengan jumlah warna yang diinginkan.

Bahan batik tulis

Bahan yang digunakan terdiri dari berbagai jenis, antara lain ATM, ATBM, Sutra, Thai Silk, Super dan Primassima atau Mori. Namun dalam batik tulis bahan katun lebih banyak digunakan. Di samping itu pun penggunaan bahan disesuaikan dengan permintaan pasar, misalnya konsumen Jakarta yang menggandrungi bahan jenis ATBM. Sedangkan jenis Super Cap banyak diminati oleh konsumen dari Malaysia. Untuk satu stel yang terdiri dari sarung dan selendang batik tulis dari bahan sutra harganya antara Rp. 500.000,- s/d Rp. 1.500.000. Dari bahan ATBM Garut harganya bisa mencapai Rp. 1.300.000,- hingga Rp. 1.600.000,-. Sedangkan untuk batik cap harga yang terendah sekitar Rp. 40.000,- hingga Rp. 75.000,-. Beda bahan otomatis berbeda pula harganya.

Motif batik tulis tradisional “Garutan”

Diperkirakan jumlah motif batik tulis tradisional “Garutan” mencapai 40-an jenis. Belum termasuk berbagai pengembangan baru yang disebut motif hasil modifikasi. Cara terakhir dengan cara berusaha menyesuaikan dengan kebutuhannya. Beberapa contoh motif tersebut antara lain, Lereng Doktor, Lereng Jaksa, Lereng Perahu, Lereng Cerutu, Lereng Adumanis, Lereng Barong, Bulu Hayam, Cupat Manggu, Mojang Priangan, Limas, Siki Bonteng, Merak Ngibing dan Sido Mukti ataupun motif hasil modifikasi seperti Tanjung Anom dan Tumpal. Bentuk Tumpal yang berbentuk segitiga sama kaki dengan banyak diketemukan pada ragam hias candi di Jawa Timur. Hal ini menunjukan pengaruh Jawa masih kuat. Menurut Ibu Melanie motif yang banyak digemari konsumen atau disebut paling “top” adalah motif-motif lama seperti Bulu Hayam, Merak Ngibing dan Sido Mukti. Motif Bulu Hayam mengambil objeknya dari ekor ayam jantan yang panjang dan dilengkungkan setengah lingkaran. Selanjutnya lengkungan tersebut disusun berjajar horizontal dan jajaran kedua -yang di atasnya- digeser dan dimulai dari tengah-tengah lengkungan bawahnya. Sepintas seperti susunan sirip ikan. Bidang lengkungan di sisi dengan berbagai motif yang ditempatkan secara acak sehingga membentuk sebuah komposisi ritmik. Bentuk bulu ayam terbuat dari warna cokelat tua selain menonjol juga memberi kesan motif tua atau kuno.Motif Merak Ngibing menggambarkan dua pasang burung Merak sedang menari. Sepintas objeknya seperti burung Phoenix yang terdapat pada batik-batik Pesisir yang dipengaruhi oleh Cina. Hanya bedanya pada batik “Garutan” lebih sederhana penggambarannya

Motif Lereng merupakan yang paling dominan, yakni bentuk hiasan yang diletakkan miring atau diagonal dan nama-nama belakang yang berbeda tersebut konon disesuaikan dengan pemesannya semula, yakni seorang Dokter dan Jaksa. Demikian pula Lereng -lereng yang lainnya. Umumnya pola motif Lereng hampir sama berupa pengulangan bentuk-bentuk tertentu. Motif Lerengan pada batik Jawa disebut motif Parang .

Sebagai pemisah antara Lereng yang satu dengan lainnya terdapat batas yang disebut Balinjo. Bentuk atau warna Balinjo umumnya memanfaatkan ruang pembatas tersebut dan berfungsi untuk membedakan. Balinjo ada yang diberi warna berbeda atau sekadar noktah atau titik sehingga motif Lereng-nya bisa lebih tampak atau menonjol.

Motif lainnya adalah Sido Mukti, yaitu bentuk kotak-kotak vertikal yang bertumpu pada salah satu ujungnya. Variasi dari motif tersebut antara lain cara mengisi bagian tengahnya dengan gambar atau motif bunga Melati sedang mekar. Penggambarannya tampak atas sehingga berupa kontur-kontur berbentuk bunga. Seluruh sisinya diberi hiasan berbentuk lonjong menyerupai daun. Batik tulis motif di atas disebut Sido Mukti Melati. Ada pula nama motif yang dikaitkan warna, misalnya motif Sido Mukti Sawat Gadingan, yakni warna “gading” paling disukai dan termasuk warna gading warna khas Garut. Disamping warna Biru dan Soga. Yang termasuk warana Soga antara lain Merah, Merah Maroon, Merah Bata serta Coklat muda. Berdasarkan pengamatan warna-warna khas batik “pedalaman” banyak dipengaruhi lingkungan alam sekitarnya seperti warna-warna tumbuhan, pohon, tanah dan gunung sehingga jarang menggunakan warna cerah. Berbeda dengan batik Jawa, nada warna batik “Garutan” lebih “kalem”, tidak kontras seperti penggunaan warna Gading, Merah Bata, atau Coklat muda. Warna-warna “kalem” tersebut ternyata disukai konsumen asing.***

No comments: